Selasa, 28 Oktober 2014

Tawassul kok syirik?

Kenapa Kalian (wahabi) Bid'ah kan mensyirikan amalan Tawassul dengan orang Shalih yg sudah meninggal? Tawasul kan hanya sarana? Tawasul masuk ke perkara Ibadah ghairu mahdhah?


Tawassul Ahlussunnah Wal Jama'ah vs ASWAJA


Nasihat Untuk ASWAJA (Asy'ariyyah, Maturidiyyah, Mu'tazila, Sufiyyah, Qulabiyyah & ALL Varian yang mengaku sebagai ASWAJA)




Tawasul adalah termasuk ibadah, karna dia adalah termasuk bagian dari doa  karna rasa butuh hamba, memohon pertolongan hamba/makhluk akan kesulitan kebutuhan/hajat si hamba kepada Alloh Ta’ala,

Definisi doa’ 
Al Imam al-Khaththabi رحمه الله menyatakan bahwa hakikat doa ialah menampakkan rasa butuh kepada Alloh تعالى, tidak bersandar pada daya ataupun kekuatan diri sendiri. Inilah ketinggian ‘ubudiyah (penghambaan diri) sekaligus kehinaan diri sebagai manusia. Di dalam doa tersirat makna pujian kepada Alloh تعالى dan penisbahan sifat Maha Dermawan dan Maha Pemurah kepada-Nya (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah (2/678)

Doa adalah ibadah, juga termasuk bagian dari Haqqullah alal-abid (hak Alloh تعالى terhadap Hamba)
pada point ini juga kaitannya masuk dalam bab Tauhid Uluhiyyah, karena nya kami menganggap bahwa perkara tawasul kepada orang shalih yang sudah mati ini adalah bidah dan media dlm bertawasul pun yg tidak diperbolehkan menuju kepada ke syirikan! sebagaimana Alloh sebutkan dalam Al Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Alloh تعالى (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3). Dalam ayat lain Alloh تعالى berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Alloh apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Alloh” (QS. Yunus:18). Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Mereka menyembah selain Alloh sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Alloh dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.

”Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami,maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim:“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami,maka itu tertolak.”

Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Alloh dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Kitab Tauhid, 17 Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi رحمه الل).
Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Alloh تعالى,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya, orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” (Ghafir: 60)

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ . قَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (رواه أبو داود، رقم 1479 و غيره و صححه الألباني)
“Doa adalah ibadah, Tuhan kalian mengatakan, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka Aku akan kabulkan (doa) kalian." (HR. at-Tirmidzi (3427) dari an-Numan bin Basyir)
sedikit menyoal seputar ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah?
Kesempuranaan Islam 
Alloh تعالى telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
artinya:“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [Q.S. Al-Maidah:3]
Islam telah sempurna dan jalan ini tidak akan berkurang dan bertambah,sedangkan permasalahan manusia dari waktu ke waktu,dari zaman ke zaman akan terus bertambah.

Prinsip Kaidah FIqih 

َالأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ
“Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan
Imam As Suyuthi رحمه الل, dalam al Asyba’ wan Nadhoir: 44 dan Ibnu Qoyyim al Jauziyah رحمه الل dalam I’lamul Muwaqi’ien Juz 1 hal. 344, Dar al Fikr, Beirut
Perhatikan ini!!
Para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu,tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat,puasa,dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya,sebagaimana nanti akan dijelaskan.
Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini,asalnya adalah perkara MUBAH ATAU PERKARA DUNIA (Muamalah). Namun karena diniatkan untuk ibadah,maka bernilai pahala. Seperti berdagang,jika diniatkan ikhlas karena Alloh تعالى untuk menghidupi keluarga,bukan semata-mata untuk cari penghidupan,maka nantinya bernilai pahala. [Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah,Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz AL Jibrin رحمه الل,hal. 39-40,Maktabah Al Mulk Fahd,cetakan pertama,1425 H

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الل dalam kitab Majmu Al-Fatawa, 1/265 berkata,
"Tidak diperkenankan menetapkan sesuatu sebagai perkara wajib atau sunnah kecuali ada dalil yang mewajibkan atau menganjurkan. Sementara ibadah tidak lain selain perkara wajib atau sunnah. Maka yang tidak wajib dan tidak sunnah tidak termasuk ibadah. Dan doa kepada Alloh تعالى adalah ibadah, meskipun yang diinginkan adalah masalah yang mubah."


Pengertian Tawassul
Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir رحمه الل). Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Alloh تعالى dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
A Tawassul Sunnah
Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Alloh تعالى berfirman,
“Hanya milik Alloh-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda dalam do’anya,
“Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)
Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Alloh تعالى. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Alloh تعالى, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Alloh تعالى membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
Keempat: Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Alloh تعالى agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
“Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Alloh تعالى. Alloh تعالى berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Alloh. Alloh تعالى berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)

Tawassul Bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi صلى الله عليه وسلم atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Alloh dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi صلى الله عليه وسلم bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi صلى الله عليه وسلم atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu ketika Nabi صلى الله عليه وسلم telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi صلى الله عليه وسلم –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Alloh تعالى.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Alloh تعالى di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.

Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Alloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar