Ini adalah sebuah kisah dari sahabat Umar -radhiallahu
anhu-. Ada seorang lelaki pada zaman kekhalifaannya yang bernama Shabigh
bin Ishl. Kisah Shabigh bin Ishl ini sendiri sudah merupakan tempat
pelajaran, dan padanya terdapat banyak faidah dan banyak perkara pokok
manhaj.
Shabigh ini sering mendatangi orang-orang lalu mempertentangkan kitab
Allah antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, memberikan kerancuan di
tengah manusia. Dia berkata, “Apa itu “Adz-dzariyati dzarwa?” apa itu
“Al-hamilati wiqra?” dia datang dengan membawa ayat-ayat yang mutasyabih
dari Al-Qur`an lalu memberikan kerancuan di tengah manusia. Hal itu
kemudian didengar oleh Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-, maka
beliau memanggilnya dan menyuruhnya untuk datang ke majelis beliau.
Kemudian dia masuk kepada Umar lalu beliau bertanya, “Siapa kamu?” dia
menjawab, “Saya hamba Allah yang bernama Shabigh,” maka Umar berkata,
“Saya juga hamba Allah yang bernama Umar.” Umar sebelum itu telah
menyiapkan untuknya pelepah pohon korma yang biasa dipakai untuk
mencambuk. Umar lalu memukul kepala Shabigh (dengan pelepah korma itu)
hingga kepalanya mengucurkan darah, kemudian beliau memerintahkan agar
dia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian dia dipanggil lagi lalu beliau
kembali memukul kepalanya hingga kepalanya mengucurkan darah. Kemudian
beliau melakukan hal itu lagi pada kali ketiganya, beliau memukulnya
sampai berdarah.
Kemudian Shabigh berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau yang kamu
inginkan (dengan pemukulan ini) agar apa (baca: kesesatan) yang ada di
kepalaku keluar (hilang), maka demi Allah dia sudah keluar. Tapi kalau
yang kamu inginkan adalah membunuhku maka bunuhlah saya dan
istirahtkanlah saya (dari pemukulan ini).” Walaupun penentang ini
(Shabigh) telah memperlihatkan taubatnya, akan tetapi Umar belum merasa
cukup dengannya, karena yang menjadi pokok dalam agama adalah adanya
kejelasan dalam manhaj dan karena yang menjadi pokok adalah seorang yang
menentang harus menjauh dari ahlissunnah agar dia tidak lagi mengotori
agama dan akidah mereka.
Maka Umar -radhiallahu anhu-memerintahkan agar orang ini diasingkan ke
Bashrah (Irak) lalu memerintahkan Ibnu Mas’ud yang ketika itu menjabat
sebagai gubernur Bashrah agar memerintahkan penduduknya untuk memboikot
orang itu selama setahun penuh. Sehingga setiap kali Shabigh mendatangi
sebuah majelis, maka orang-orang pada berdiri seraya berkata, “Perintah
Amirul Mukminin,” yakni Amirul Mukminin memerintahkan kami untuk
memboikotnya dan meninggalkannya. Demikian seterusnya sampai berlalu
setahun penuh dalam keadaan dia seperti ini, dia tidak masuk bergaul
dengan ahlussunnah dan mereka menjauh darinya.
Kemudian Ibnu Mas’ud mengirim surat kepada Umar -radhiallahu anhu- yang
berisi bahwa Shabigh telah bertaubat dengan benar dan dia telah kembali
kepada manhaj ahlussunnah dan telah meninggalkan kesesatan yang dulu dia
berada di atasnya, maka Umar kemudian memerintahkan orang-orang agar
kembali bergaul dengannya. Perhatikanlah, semua penjagaan ini diadakan
bertujuan untuk memperlihatkan kejelasan dalam manhaj, untuk
menyelamatkan rakyat, untuk menyelamatkan ahlussunnah wal jamaah agar
tidak ada ahli bid’ah yang masuk ke barisan mereka. Kemudian waktu
berlalu sampai pada zaman kekhalifaan Ali, sampai keluarnya orang-orang
Khawarij lalu mereka mendatangi Shabigh.
Dalam peristiwa ini terdapat talbis (penipuan) yang dilakukan oleh ahli
bid’ah, mereka mengungkit-ungkit kembali kejadian yang telah lampau yang
dengannya mereka membuat makar kepada ahlussunnah wal jamaah.
Orang-orang khawarij datang menemui Shabigh bin Ishl lalu mereka berkata
kepadanya, “Wahai Shabigh, sesungguhnya hari ini adalah kesempatanmu
untuk membalas dendam, hendaknya kamu keluar bersama kami, hendaknya
kamu berperang bersama kami melawan orang-orang kafir (para sahabat dan
kaum muslimin, pent.).” Maka Shabigh berkata kepada mereka dengan sebuah
kalimat yang agung, “Tidak, sungguh saya telah dididik oleh seorang
hamba yang saleh, sungguh saya telah dididik oleh seorang hamba yang
saleh,” yang dia maksud adalah Umar bin Al-Khaththab.
Beliau menampakkan (bukti) taubatnya, memperbaiki jalan hidupnya setelah
itu, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. Maka kisah ini adalah
sebuah kejadian besar yang menjelaskan manhaj ahlussunnah bersama
orang-orang yang menentang mereka dan bersama orang yang ingin mencoba
masuk ke dalam barisan ahlussunnah untuk melemparkan perselisihan di
tengah-tengah mereka, untuk mencerai beraikan barisan mereka, untuk
memecah belah di antara mereka, untuk melemparkan syubhat agar bisa
memalingkan mereka dari manhaj ahlussunnah wal jamaah, yaitu manhaj yang
sepantasnya ditempuh bersama orang yang menyimpang tersebut, seperti
apa yang ditempuh oleh para sahabat, tabiin bersama Shabigh bin Ishl,
dan contoh-contoh lainnya yang sangat banyak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar